Ingatan

Tulisan ini dibuat lebih dari lima tahun lalu. Saya lupa mengapa saat itu muncul gagasan untuk menulis tentang ingatan dan betapa manusia sesungguhnya tergantung pada ingatan. Refleksi mengenai ingatan tersimpan rapi di laptop tua saya selama bertahun-tahun.

Saya menampilkan tulisan itu di situs tomytrinugroho.net karena sekarang semakin tersadar betapa pentingnya ingatan setelah membaca buku On Intelligence yang ditulis oleh Jeff Hawkins dan Sandra Blakeslee (2004). Buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh PT Bhuana Ilmu Populer tersebut menjelaskan bagaimana seseungguhnya otak bekerja dan bagaimana ingatan muncul dalam benak kita.

Dari apa manusia dibuat? Helaian daging yang saling menjalin? Gumpalan otot yang secara sistematis membungkus sekaligus menggerakkan tulang?

Tidak. Manusia tidak dibuat dari onggokan sel berdenyut yang bisa mati dan membusuk dirubung lalat.

Hal-hal fana semacam itu tidak cukup mampu membentuk manusia. Daging, darah, tulang, mungkin menjadi bagian dari tubuhmu, tubuhku, dan tubuh mereka.

memori
Anak saya, Surya, memerhatikan pembangunan jalur kereta bawah tanah di Jalan MH Thamrin, Jakarta, lewat kaca jendela Hotel Pullman, Agustus 2014. Apa yang dilihatnya akan diingatnya dan ikut membentuk persepsinya mengenai dunia. 

Namun, bukan daging, darah, dan tulang yang membuat kita hidup, berjalan, dan bermimpi.

Bukan. Bukan daging merahmu, bukan darah kentalmu, dan bukan tulang kerasmu yang membuatmu memiliki harapan, kesetiaan, dan cinta.

Ingatan. Ingatanlah yang membentuk manusia. Serpihan-serpihan kenanganlah yang membentuk dirimu menjadi seperti sekarang.

Tanpa riwayat, tidak ada manusia. Tanpa ingatan, tidak ada dunia orang hidup, tidak ada dunia penuh warna yang begitu indahnya.

Ingatan dan kenangan menghubungkanmu dengan masa silam. Ingatan dan kenangan juga menghubungkanmu dengan masa depan. Bahkan, masa silam dan masa mendatang sebenarnya melebur dengan dirimu yang sekarang berkat ingatan dan kenangan.  Ingatan membuatmu berdiri di luar batasan waktu.

Ingatan tidak pernah menghakimi dirimu. Dia seperti film di layar bioskop yang terus berganti adegan tanpa pretensi apa pun.

Kau mungkin tertawa karena ingatan, kau mungkin juga bersedih karena ingatan. Namun, tanpa kau sadari, kau belajar dari ingatan, belajar tentang menjadi manusia.

Manusia memiliki begitu banyak sel hidup yang bernafas, tetapi bukan itu yang membuat manusia dipenuhi gairah hidup. Rangkaian cerita-cerita dari masa silam dan kenanganlah yang membuat manusia tersenyum, mensyukuri betapa beruntungnya ia terlahir di atas bumi.

Toh, jutaan cerita dari masa lampau dan jutaan kenangan juga bisa membuat manusia menyesali dirinya terlahir, membuat manusia ingin segera mati.

Namun, karena ingatan dan kenangan tidak pernah menjadi hakim, janganlah kau pernah menghakimi mereka.

Biarlah ingatan dan kenangan mengaliri ruang-ruang sepi dalam tubuh dan jiwamu. Rasakanlah kehadiran mereka. Syukurilah kehadiran mereka karena dengan itulah manusia diciptakan, dibuat, dan dibentuk.

Pondok Aren, Tangerang Selatan, 3 Juli 2010.

 

Sampingan

Proses evolusi yang telah berlangsung 3,5 miliar tahun menghasilkan makhluk hidup bernama manusia. Homo sapiens, demikian nama satu-satunya spesies manusia yang hidup dan merajai bumi sekarang.

Manusia menyebut dirinya sebagai makhluk yang memiliki kesadaran. Manusia bisa berpikir tentang masa lalu dan merefleksikannya. Manusia juga bisa berpikir tentang masa depan serta membuat perencanaan yang rumit.

Sistem saraf di otak manusia berkembang sedemikan canggih sehingga spesies Homo sapiens dapat melakukan hal-hal yang jauh lebih kompleks ketimbang spesies-spesies lain di muka bumi. Manusia bisa membuat roket dan pesawat ruang angkasa. Manusia bisa membuat persamaan matematika yang sedemikian rumit. Konsep-konsep matematika, seperti bilangan prima dan bilangan imajiner, merupakan murni buah karya pikir manusia.

Manusia juga berhasil mengolah alam dan mengambil manfaat sebesar-besarnya. Fenomena alam berupa magnetisme dan kelistrikan mampu ditemukan dan diklasifikasikan dengan baik oleh manusia. Hasilnya, manusia dapat mengolah fenomena itu untuk menciptakan listrik yang dapat didistribusikan secara luas dan dipakai guna menyalakan peralatan listrik, mulai dari lampu, televisi, hingga pengering tangan di toilet.

Namun, keberhasilan manusia mengolah alam juga menimbulkan kecemasan. Bumi menjadi rusak dan bukan tidak mungkin, pada suatu waktu di masa depan, bumi akan hancur akibat eksploitasi tanpa batas yang dilakukan manusia.

Susunan saraf di otak yang sedemikian canggih itu merupakan hasil evolusi yang begitu panjang, mulai dari makhluk bersel satu bernama prokariot, bermiliar-miliar tahun silam, hingga kemunculan Homo sapiens pertama kali di Afrika, sekitar 200.000 tahun silam. Kecanggihan saraf di otak manusia bukan hasil ciptaan semalam.

Jejaring saraf yang rumit beserta sinapsis yang terbentuk menjadi dasar bagi manusia untuk melakukan olah pikir, menyusun konsep, menulis buku, berfilsafat, dan bahkan, merumuskan apa itu kesadaran. Namun, jangan pernah berpikiran bahwa kecanggihan saraf di otak manusia itu merupakan tujuan dari evolusi. Tidak.

Proses evolusi bersifat alamiah dan mengalir secara spontan. Evolusi tidak pernah memiliki tujuan. Maka, kalau pada titik sekarang evolusi menghasilkan manusia, hal itu adalah hasil sampingan atau merupakan by-product. Karena itu, kesadaran dan refleksi diri akhirnya juga bisa dikatakan sebagai by-product atau hasil sampingan dari proses evolusi yang telah berjalan sedemikian lama.

Uniknya, justru berkat hasil sampingan itu, manusia bisa merasa tidak sendirian.  Manusia menciptakan dewa dewi yang gagah perkasa, penuh welas asih, dan sakti mandraguna. Kehebatan para dewa dan pengorbanan para dewi membuat manusia merasa perlu untuk menyembah mereka. Manusia pun mejadi tidak sendirian. Ada makhluk sakti di atas sana yang mengawasi setiap langkah manusia, sejak lahir hingga mati.

Manusia juga tidak merasa sendirian karena bisa memanjatkan permohonan kala didera kesulitan. Ada makhluk sakti di atas sana yang selalu mendengarkan permohonan manusia.

Hasil sampingan dari proses evolusi itu membuat manusia bisa menyusun cerita cinta yang indah dan mengharukan, maupun cerita kepahlawanan yang begitu hebat.

Manusia sepenuhnya hidup dalam alam pikir yang dibangun oleh dirinya sendiri. Sistem ekonomi, politik, ideologi, dan dunia digital, adalah hasil olah pikir manusia. Semua itu tak lain dan tak bukan merupakan produk sampingan dari proses evolusi.

Tangerang Selatan, 6 Desember 2015

 

 

 

 

Jokowi Jadi Capres

Joko Widodo atau Jokowi akhirnya ditetapkan oleh PDI-P sebagai calon Presiden  pada Jumat (14/3). Sepertinya memang tidak ada pilihan selain mencalonkan Jokowi jika PDI-P ingin merebut kekuasaan, setelah selama satu dekade ini tidak menempatkan satu wakil pun di tubuh pemerintahan pusat. Jokowi, jika berhasil memenangi Pilpres 2014, bisa menjadi tiket bgi PDI-P untuk menjadi partai penguasa.

jokowi
Jokowi (kanan)

Penetapan Jokowi sebagai capres mendapat sambutan cukup luas. Teman-teman saya di Facebook menyampaikan dukungan mereka terhadap Gubernur DKI Jakarta tersebut. Ada beberapa dari mereka yang menyebut  tidak akan lagi golput, setelah sekian lama tidak peduli dan tidak mau datang ke tempat pemungutan suara.

Sebagian dari teman-teman saya juga mengganti profil picture di Facebook dengan ikon pendukung Jokowi. Bahkan, lewat statusnya di Facebook, ada seorang teman yang dengan militannya membela Jokowi,  menantang siapapun untuk menyebutkan jago mereka serta mengadunya dengan Jokowi. Intinya, wabah Jokowi merebak di mana-mana. Pria yang pernah menjadi Wali Kota Solo ini semacam kebanjiran pujian.

Sejak setahun terakhir, Jokowi memang sangat popuelar dan memiliki tingkat keterpilihan (elektabilitas) yang tinggi, jauh melampaui tokoh-tokoh lain, seperti Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie.

Kegairahan kepada Jokowi sejak setahun silam menimbulkan segudang pertanyaan di dalam diri saya. Apa yang dapat membuat seseorang dapat diterima begitu luas? Kata-katanya? Bahasa tubuhnya? Aksinya? Gayanya? Kebijakannya?

Bagaimana orang bisa menilai atau mungkin merasakan bahwa tokoh yang satu jujur, sedangkan tokoh yang lain kurang jujur? Apakah kejujuran dan pribadi seseorang dapat terpancar secara nyata di mata orang banyak? Bagaimana kalau ada orang yang mungkin lebih jujur, lebih baik, lebih perhatian, tetapi semua kualitas itu tidak terpancar di hadapan publik?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mugkin tidak relevan di tengah kegairahan terhadap Jokowi.  Pokoknya, bagi banyak orang, sekarang adalah tahun politik, bahkan masa kampanye legislatif sudah dimulai. Tidak perlu mengajukan pertanyaan yang jawabannya susah karena dinamika keseharian politik juga sudah memusingkan, apalagi bagi para caleg yang sedang berjuang mati-matian mendapatkan suara pemilih.