Borobudur (1)

Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, telah menjadi ikon penting Indonesia. Tak hanya sebagai pusat perayaan keagamaan umat Buddha, yakni Waisak,  Borobudur merupakan pusat kunjungan dan wisata warga Indonesia serta internasional.

20191223_143443
Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tanggal 23 Desember 2019. (A Tomy Trinugroho)

Pada liburan Natal kali ini, kami sekeluarga, seperti biasanya, pergi ke Yogyakarta, tempat orangtua isteri tinggal. Salah satu agenda yang kami siapkan ialah mengunjungi Candi Borobudur di Kabupaten Magleang, JawaTengah.

Borobudur telah menjadi ikon penting Indonesia. Tak hanya sebagai pusat perayaan keagamaan umat Buddha, yakni Waisak,  Candi Borobudur merupakan pusat kunjungan dan wisata warga Indonesia maupun internasional.

20191223_142559
Pengunjung berpose di salah satu pintu masuk Candi Borobudur, tanggal 23 Desember 2019. (A Tomy Trinugroho)

Candi Borobudur, yang terletak  di kawasan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, didirikan pada tahun 800-an atau pada abad ke-9 di era kekuasaan Dinasti Syailendra. Denah candi berbentuk persegi panjang dengan ukuran sisi-sisinya masing-masing 121,66 meter dan 121,38 meter.

Tinggi Candi Borobudur mencapai 35,4 meter yang meliputi enam teras dengan denah berbentuk persegi serta tiga teras teratas yang denahnya berbentuk lingkaran. Ada empat pintu di Borobudur, dengan pintu di sisi timur sebagai yang utama.

20191223_142745
Sisi Utara Candi Borobudur, tanggal 23 Desember 2019. Arca Buddha memperlihatkan sikap tangan Abhayamudra. (A Tomy Trinugroho)

Dalam buku Kunci Induk untuk Membaca Simbolisme Borobudur (Hudaya Kandahjaya, 1995), diungkapkan bahwa Candi Borobudur pada intinya merupakan sistem simbol yang mengandung unsur-unsur ajaran Buddha sebagaimana terdapat dalam berbagai kitabnya. Dengan kata lain, apa yang tersaji di keseluruhan bangunan Candi Borobudur, mulai dari jumlah tingkat, jumlah stupa, jumlah patung Buddha, hingga perletakan tangan arca Buddha, dan sebagainya, mengandung simbol yang berakar pada ajaran Buddha. Karena itu, untuk memahami Borobudur, penting kiranya mengetahui sejumlah prinsip yang terdapat pada Buddhisme.

Pengaruh internasional

Hudaya Kandahjaya menyebutkan bahwa pada periode sebelum hingga sesudah pembangunan Candi Borobudur, masyarakat Jawa mendapat pengaruh dari pusat-pusat pengembangan agama Buddha di India, Sri Lanka, serta China. “…kedatangan para bhikshu dari berbagai negara ke Jawa dan juga hadirnya beberapa kitab suci istimewa agama Buddha, misalnya, Mahavairocana, Vajrasekhara, dan Gandavyuha Sutra, yang diketahui atau dipahatkan di Borobudur, mestinya dapat menerangkan warisan agama Buddha khas Jawa, dan karenanya keberadaan Borobudur di Jawa,” tulis Hudaya.

Hudaya menyatakan, untuk lebih memahami rancangan Borobudur, dirinya memusatkan perhatian pada dua tokoh, yaitu Vajrabodhi serta Amoghavajra. Keduanya mendarat di Jawa menjelang atau sekitar waktu pembangunan Candi Borobudur.

20191223_151758
Salah satu panel relief di tingkat pertama Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tanggal 23 Desember 2019. (A Tomy Trinugroho)

Adapun kitab atau karya literatur yang menjadi pusat perhatian Hudaya dalam risetnya mengenai rancangan Borobudur ialah Avatamsaka, Mahavairocana, serta Vajrasekhara Sutra. Ketiganya menjadi karya puncak di era pembangunan Borobudur. Menurut dia, salah satu bagian penting dari Avatamsaka Sutra, yakni Gandavyuha, mendapat porsi terbesar pada relief-relief yang ditampilkan di Borobudur.   (Bersambung)

 

Advertisement

Tentang Liberalisme dari Von Mises (1)

Ludwig von Mises 576x720
Ludwig von Mises (credit: mises.org)

Belum lama ini saya meminjam buku berjudul “Menemukan Kembali Liberalisme” di perpustakaan kantor. Saya merasa, buku ini seharusnya saya baca saat saya remaja atau muda dulu. Meskipun sekarang belum selesai membacanya, saya mendapati buku ini menjelaskan banyak hal yang bersifat prinsip kepada saya.

Pertama, buku yang merupakan terjemahan dari karya pemikir liberalisme terkenal Ludwig von Mises ini menjelaskan apa itu liberalisme.

Gagasan pokok liberalisme adalah produktivitas masyarakat manusia akan lebih baik sehingga manusia dapat lebih sejahtera jika alat-alat produksi dimiliki secara personal, tidak secara kolektif, sebagaimana yang dimaksud dalam gagasan sosialisme atau komunisme. Dengan demikian, liberalisme “sangat membenci” komunisme serta sosialisme.

Dalam buku yang diterbitkan oleh Freedom Institute (terima kasih kepada Freedom Institute yang mau bersusah payah mengurusi penerbitan buku yang sulit dijual seperti ini) tersebut, dinyatakan bahwa liberalisme adalah doktrin yang ditujukan sepenuhnya bagi perilaku manusia di bumi. Liberalisme tidak mempunyai tujuan, selain memajukan kesejahteraan lahiriah dan material manusia. Dengan pemenuhan secara baik kebutuhan lahiriah manusia itu, maka terpenuhi pula kebutuhan spritual manusia.

Dalam ungkapan yang sederhana, sesorang baru bisa tenang, jika ia mendapat sandang, pangan, dan papan yang memadai. Liberalisme sebagai dasar kebijakan sosial bertujuan membantu manusia memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Kebutuhan di luar fisik ditentukan oleh masing-masing pribadi, di luar domain  kebijakan sosial atau liberalisme.

Sekarang sudah dinihari. Saya akan lanjutkan cerita tentang buku ini pada kesempatan yang lain….

 

 

Ingatan

Tulisan ini dibuat lebih dari lima tahun lalu. Saya lupa mengapa saat itu muncul gagasan untuk menulis tentang ingatan dan betapa manusia sesungguhnya tergantung pada ingatan. Refleksi mengenai ingatan tersimpan rapi di laptop tua saya selama bertahun-tahun.

Saya menampilkan tulisan itu di situs tomytrinugroho.net karena sekarang semakin tersadar betapa pentingnya ingatan setelah membaca buku On Intelligence yang ditulis oleh Jeff Hawkins dan Sandra Blakeslee (2004). Buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh PT Bhuana Ilmu Populer tersebut menjelaskan bagaimana seseungguhnya otak bekerja dan bagaimana ingatan muncul dalam benak kita.

Dari apa manusia dibuat? Helaian daging yang saling menjalin? Gumpalan otot yang secara sistematis membungkus sekaligus menggerakkan tulang?

Tidak. Manusia tidak dibuat dari onggokan sel berdenyut yang bisa mati dan membusuk dirubung lalat.

Hal-hal fana semacam itu tidak cukup mampu membentuk manusia. Daging, darah, tulang, mungkin menjadi bagian dari tubuhmu, tubuhku, dan tubuh mereka.

memori
Anak saya, Surya, memerhatikan pembangunan jalur kereta bawah tanah di Jalan MH Thamrin, Jakarta, lewat kaca jendela Hotel Pullman, Agustus 2014. Apa yang dilihatnya akan diingatnya dan ikut membentuk persepsinya mengenai dunia. 

Namun, bukan daging, darah, dan tulang yang membuat kita hidup, berjalan, dan bermimpi.

Bukan. Bukan daging merahmu, bukan darah kentalmu, dan bukan tulang kerasmu yang membuatmu memiliki harapan, kesetiaan, dan cinta.

Ingatan. Ingatanlah yang membentuk manusia. Serpihan-serpihan kenanganlah yang membentuk dirimu menjadi seperti sekarang.

Tanpa riwayat, tidak ada manusia. Tanpa ingatan, tidak ada dunia orang hidup, tidak ada dunia penuh warna yang begitu indahnya.

Ingatan dan kenangan menghubungkanmu dengan masa silam. Ingatan dan kenangan juga menghubungkanmu dengan masa depan. Bahkan, masa silam dan masa mendatang sebenarnya melebur dengan dirimu yang sekarang berkat ingatan dan kenangan.  Ingatan membuatmu berdiri di luar batasan waktu.

Ingatan tidak pernah menghakimi dirimu. Dia seperti film di layar bioskop yang terus berganti adegan tanpa pretensi apa pun.

Kau mungkin tertawa karena ingatan, kau mungkin juga bersedih karena ingatan. Namun, tanpa kau sadari, kau belajar dari ingatan, belajar tentang menjadi manusia.

Manusia memiliki begitu banyak sel hidup yang bernafas, tetapi bukan itu yang membuat manusia dipenuhi gairah hidup. Rangkaian cerita-cerita dari masa silam dan kenanganlah yang membuat manusia tersenyum, mensyukuri betapa beruntungnya ia terlahir di atas bumi.

Toh, jutaan cerita dari masa lampau dan jutaan kenangan juga bisa membuat manusia menyesali dirinya terlahir, membuat manusia ingin segera mati.

Namun, karena ingatan dan kenangan tidak pernah menjadi hakim, janganlah kau pernah menghakimi mereka.

Biarlah ingatan dan kenangan mengaliri ruang-ruang sepi dalam tubuh dan jiwamu. Rasakanlah kehadiran mereka. Syukurilah kehadiran mereka karena dengan itulah manusia diciptakan, dibuat, dan dibentuk.

Pondok Aren, Tangerang Selatan, 3 Juli 2010.

 

Sampingan

Proses evolusi yang telah berlangsung 3,5 miliar tahun menghasilkan makhluk hidup bernama manusia. Homo sapiens, demikian nama satu-satunya spesies manusia yang hidup dan merajai bumi sekarang.

Manusia menyebut dirinya sebagai makhluk yang memiliki kesadaran. Manusia bisa berpikir tentang masa lalu dan merefleksikannya. Manusia juga bisa berpikir tentang masa depan serta membuat perencanaan yang rumit.

Sistem saraf di otak manusia berkembang sedemikan canggih sehingga spesies Homo sapiens dapat melakukan hal-hal yang jauh lebih kompleks ketimbang spesies-spesies lain di muka bumi. Manusia bisa membuat roket dan pesawat ruang angkasa. Manusia bisa membuat persamaan matematika yang sedemikian rumit. Konsep-konsep matematika, seperti bilangan prima dan bilangan imajiner, merupakan murni buah karya pikir manusia.

Manusia juga berhasil mengolah alam dan mengambil manfaat sebesar-besarnya. Fenomena alam berupa magnetisme dan kelistrikan mampu ditemukan dan diklasifikasikan dengan baik oleh manusia. Hasilnya, manusia dapat mengolah fenomena itu untuk menciptakan listrik yang dapat didistribusikan secara luas dan dipakai guna menyalakan peralatan listrik, mulai dari lampu, televisi, hingga pengering tangan di toilet.

Namun, keberhasilan manusia mengolah alam juga menimbulkan kecemasan. Bumi menjadi rusak dan bukan tidak mungkin, pada suatu waktu di masa depan, bumi akan hancur akibat eksploitasi tanpa batas yang dilakukan manusia.

Susunan saraf di otak yang sedemikian canggih itu merupakan hasil evolusi yang begitu panjang, mulai dari makhluk bersel satu bernama prokariot, bermiliar-miliar tahun silam, hingga kemunculan Homo sapiens pertama kali di Afrika, sekitar 200.000 tahun silam. Kecanggihan saraf di otak manusia bukan hasil ciptaan semalam.

Jejaring saraf yang rumit beserta sinapsis yang terbentuk menjadi dasar bagi manusia untuk melakukan olah pikir, menyusun konsep, menulis buku, berfilsafat, dan bahkan, merumuskan apa itu kesadaran. Namun, jangan pernah berpikiran bahwa kecanggihan saraf di otak manusia itu merupakan tujuan dari evolusi. Tidak.

Proses evolusi bersifat alamiah dan mengalir secara spontan. Evolusi tidak pernah memiliki tujuan. Maka, kalau pada titik sekarang evolusi menghasilkan manusia, hal itu adalah hasil sampingan atau merupakan by-product. Karena itu, kesadaran dan refleksi diri akhirnya juga bisa dikatakan sebagai by-product atau hasil sampingan dari proses evolusi yang telah berjalan sedemikian lama.

Uniknya, justru berkat hasil sampingan itu, manusia bisa merasa tidak sendirian.  Manusia menciptakan dewa dewi yang gagah perkasa, penuh welas asih, dan sakti mandraguna. Kehebatan para dewa dan pengorbanan para dewi membuat manusia merasa perlu untuk menyembah mereka. Manusia pun mejadi tidak sendirian. Ada makhluk sakti di atas sana yang mengawasi setiap langkah manusia, sejak lahir hingga mati.

Manusia juga tidak merasa sendirian karena bisa memanjatkan permohonan kala didera kesulitan. Ada makhluk sakti di atas sana yang selalu mendengarkan permohonan manusia.

Hasil sampingan dari proses evolusi itu membuat manusia bisa menyusun cerita cinta yang indah dan mengharukan, maupun cerita kepahlawanan yang begitu hebat.

Manusia sepenuhnya hidup dalam alam pikir yang dibangun oleh dirinya sendiri. Sistem ekonomi, politik, ideologi, dan dunia digital, adalah hasil olah pikir manusia. Semua itu tak lain dan tak bukan merupakan produk sampingan dari proses evolusi.

Tangerang Selatan, 6 Desember 2015

 

 

 

 

Suara Piano

Saya terbangun sekitar pukul 3 dinihari. Saya sebelumnya bermimpi: bertemu dan berbincang-bincang dengan seorang perempuan, entah siapa namanya, yang saya ketahui dulu tinggal di rumah, di dekat tempat tinggal saya saat kecil dulu.

Pada suatu malam, lebih dari tiga dekade silam, saya berjalan kaki melewati depan rumah perempuan itu, yang dulu masih remaja. Ketika itu, saya mendengar suara dentingan piano. Saya melihat lewat kaca depan rumahnya, perempuan itu sedang berlatih memainkan piano. Saya sangat terkesan dengan suara piano yang sangat indah. Mungkin itu kali pertama saya mendengar dentingan suara piano yang begitu indahnya hingga terasa menyentuh hati. Sejak dulu sampai sekarang, saya tidak pernah tahu siapa nama perempuan itu. Pada bagian depan rumah yang ditempati keluarganya, ada warung kelontong. Saya dulu kadang-kadang membeli jajanan di warung itu.

Di dalam mimpi, saya bertanya-tanya kepada perempuan itu, “Bagaimana? Bagaimana?” Maksud pertanyaan saya adalah menanyakan bagaimana perkembangan permainan piano perempuan itu sekarang. Wajahnya sedih. Ia berbicara sesuatu yang saya tidak ingat apa isinya.

Saya tidak tahu apakah mimpi itu muncul karena ketika sebelum tidur, saya menemani putri saya berlatih lagu The Harebell dengan menggunakan keyboard. Putri saya ini sudah beberapa waktu mengikuti les piano, tetapi sayangnya, saya masih harus menabung untuk membelikannya piano yang bagus.

Tentu saja tiruan suara piano dari keyboard tidak seindah suara dentingan piano sesungguhnya, terutama suara dentingan piano yang saya dengar berpuluh-puluh tahun silam.

Pikun

Hidup manusia sebenarnya sangat sederhana. Siapa pun dia, sehebat apa pun dia, secantik apa pun dia, setua apa pun dia, segala sesuatunya bergantung pada ingatannya.

Seorang pria yang tampan akan menjalani hidup yang menyenangkan dan berbahagia karena ingat siapa istrinya, siapa anaknya. Hidupnya menggembirakan karena dia ingat bahwa kemarin isterinya mencium pipinya saat anak-anak sudah terlelap tidur. Si pria tampan ini merasa dirinya sebagai mahkluk paling berbahagia karena ingat bahwa isteri dan anak-anaknya pada kemarin, seminggu lalu, tiga bulan lalu, selalu mengingatkannya untuk tidak lupa menggosok gigi sebelum tidur. Ingatan telah membuat dirinya selalu sadar dan terjaga bahwa ada orang-orang yang mengasihinya berada di sekelilingnya.

Lalu apa jadinya ketika seorang pria tua pikun sedemikian parah sehingga tak bisa lagi mengingat bahwa perempuan yang membantunya duduk adalah anak tertuanya?  Ia tak bisa mengingat dan sadar bahwa dirinya hidup dikelilingi anak-anaknya, darah dagingnya, yang dulu pernah dicemaskannya berhari-hari karena panas di tubuh mereka tak kunjung turun.

Sulit membayangkan apa yang terjadi ketika seseorang kehilangan ingatannya. Namun, itulah yang dialami seorang kerabat.

Usianya mungkin sekitar 70 tahun. Dahulu ia gagah. Badannya tinggi. Selama beberapa tahun terakhir  perubahan terjadi pada dirinya. Kulitnya semakin keriput. Badannya kian kurus. Pipinya terus kelihatan kempot. Yang paling utama, perlahan tapi pasti, ingatannya terus berkurang. Dia semakin pikun. Bahkan kedua anaknya pun sudah tak diingatnya lagi.

Tanpa dibuat sok sedih, situasi di rumahnya yang dihuni oleh isteri, kedua anaknya, serta cucu-cucunya sudah barang tentu berada dan tenggelam dalam rasa duka. Pria yang dulu bisa tertawa terbahak-bahak mendengar cerita lelucon kedua anaknya, pria yang dulu merasakan iba saat mendengar kisah kesulitan kedua anaknya, kini seperti orang asing. Kedua anaknya tentu masih mengenalnya sebagai ayah kandung mereka, tetapi sang ayah tak ingat bahwa kedua anaknya sehari-hari menghisap udara yang sama di rumah mereka. Untung saja, sang suami masih ingat siapa isterinya. Shalat pun masih diingatnya.

Ada cerita. Suatu hari seorang sahabat mencari si anak yang sebut saja namanya Rini. Sang sahabat datang ke rumah dan bertemu sang ayah yang tua dan pikun. “Rini ada, Pak?” tanya sang sahabat dengan gembira. Tak disangka, keluar jawaban dari sang ayah,” Rini? Tidak ada orang bernama Rini di sini.”

Si sahabat bengong dan tidak bisa bicara apa-apa lagi. Ia merasa sama sekali seperti orang asing di rumah sahabatnya itu.

Pada lain waktu, bertemulah si sahabat dengan Rini. Diceritakan semua yang dialaminya ketika bertemu sang ayah. Tidak ada permohonan maaf dengan nada sedih keluar dari mulut Rini. Situasi yang kelihatan murung ternyata menjadi sesuatu yang menggelikan. “Ya memang, di rumah, aku dipanggil Lydia, lho. Ha..ha..ha..,” kata Rini tertawa lebar. Sang sahabat pun ikut tertawa. Mereka menikmati tawa itu dan pada saat yang sama, mereka juga sama-sama mengenang masa puluhan tahun silam, ketika sang ayah berdiri gagah menjulang tinggi di depan pintu masuk, tersenyum, menyambut Rini serta sang sahabat yang baru pulang dari bepergian.

Babi Ini…!!

Pada suatu siang, saya memiliki janji bertemu dengan seseorang di sebuah restoran, di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta. Sambil menunggu, saya membeli minuman botol di toko Indomaret. Setelah itu, saya berpikiran untuk merokok satu batung saja sebelum pergi menuju rumah makan tersebut.

Saya membeli sebatang rokok  di sebuah warung kecil, di depan toko Indomaret. Secara “resmi”, saya sudah mendeklarasikan diri berhenti merokok, tetapi di saat-saat tertentu timbul keinginan merokok. Saya pun kadang-kadang, tidak setiap hari, membeli sebatang rokok. He-he-he…

“Beli rokok Dji Sam Soe satu batang. Berapa, Bu?” tanya saya.

Wajah ibu tua penunggu warung tampak tidak cerah. Masam dan merengut. Dia duduk di dalam warung kecilnya.

Dia mengambil rokok itu dan  menyerahkannya kepada saya.

“Dua ribu,” katanya masih dengan wajah merengut.

Saya berpikir, harganya agak mahal rupanya. Di tempat lain, harga satu batang rokok Dji Sam Soe adalah Rp 1.500,00. Ya, sudahlah, selisish Rp 500 saja kok jadi masalah.

Sebelum sempat saya membayanya, ada seorang ibu muda yang juga pedagang mendekati warung rokok ini.

“Bu, mau tukar dua lembar 50 ribuan,” ujar ibu muda tersebut.

“Uang dari mana? Saya belum jualan apa-apa,” kata ibu tua penjaga warung.

Ibu tua penjaga warung ini lantas menatap saya. “Dari pagi buka, ya hanya rokok itu yang bisa saya jual,” ujarnya.

Saya tersenyum. berusaha tetap tenang.

“Babi ini!” kata ibu tua penjaga warung.

“Apa, Bu, yang babi?” tanya saya.

“Toko di belakang (toko Indomaret),” katanya.

“Sebelah sana pasar. Masak di sini sudah ada toko? Seharusnya lebih jauhlah. Saya tidak dapat apa-apa sekarang,” tuturnya.

“Sudah berapa lama toko itu berdiri?” tanya saya.

“Dua bulan,” kata si ibu tua penjaga warung.

“Oh, gitu,” kata saya.

Saya sedih memikirkan nasib si ibu. Pendapatannya anjlok drastis sekarang.

Lalu lintas di Benhil sangat padat. Macet.

Mobil antre di kedua arah. Cuaca sangat panas.

Saya tidak tahu lagi harus bicara apa dengan dengan si ibu tua penjaga warung.

Akhirnya, untuk menutup pembicaraan, saya meminta api. Saya menyalakan rokok.

“Terima kasih, Bu,” kata saya.

Saya pergi dan berdiri di emperan toko Indomaret yang kata si ibu tua baru berdiri dua bulan lalu.

Di tempat saya berdiri sekarang, udara terasa tidak terlalu panas karena ada atap pelindung.

Saya meminum susu kedelai yang tadi saya beli di toko Indomaret.

Saya menghisap rokok dalam-dalam.

Jalanan di depan saya masih macet dan sinar matahari terlihat sangat terik.

Jokowi Jadi Capres

Joko Widodo atau Jokowi akhirnya ditetapkan oleh PDI-P sebagai calon Presiden  pada Jumat (14/3). Sepertinya memang tidak ada pilihan selain mencalonkan Jokowi jika PDI-P ingin merebut kekuasaan, setelah selama satu dekade ini tidak menempatkan satu wakil pun di tubuh pemerintahan pusat. Jokowi, jika berhasil memenangi Pilpres 2014, bisa menjadi tiket bgi PDI-P untuk menjadi partai penguasa.

jokowi
Jokowi (kanan)

Penetapan Jokowi sebagai capres mendapat sambutan cukup luas. Teman-teman saya di Facebook menyampaikan dukungan mereka terhadap Gubernur DKI Jakarta tersebut. Ada beberapa dari mereka yang menyebut  tidak akan lagi golput, setelah sekian lama tidak peduli dan tidak mau datang ke tempat pemungutan suara.

Sebagian dari teman-teman saya juga mengganti profil picture di Facebook dengan ikon pendukung Jokowi. Bahkan, lewat statusnya di Facebook, ada seorang teman yang dengan militannya membela Jokowi,  menantang siapapun untuk menyebutkan jago mereka serta mengadunya dengan Jokowi. Intinya, wabah Jokowi merebak di mana-mana. Pria yang pernah menjadi Wali Kota Solo ini semacam kebanjiran pujian.

Sejak setahun terakhir, Jokowi memang sangat popuelar dan memiliki tingkat keterpilihan (elektabilitas) yang tinggi, jauh melampaui tokoh-tokoh lain, seperti Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie.

Kegairahan kepada Jokowi sejak setahun silam menimbulkan segudang pertanyaan di dalam diri saya. Apa yang dapat membuat seseorang dapat diterima begitu luas? Kata-katanya? Bahasa tubuhnya? Aksinya? Gayanya? Kebijakannya?

Bagaimana orang bisa menilai atau mungkin merasakan bahwa tokoh yang satu jujur, sedangkan tokoh yang lain kurang jujur? Apakah kejujuran dan pribadi seseorang dapat terpancar secara nyata di mata orang banyak? Bagaimana kalau ada orang yang mungkin lebih jujur, lebih baik, lebih perhatian, tetapi semua kualitas itu tidak terpancar di hadapan publik?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mugkin tidak relevan di tengah kegairahan terhadap Jokowi.  Pokoknya, bagi banyak orang, sekarang adalah tahun politik, bahkan masa kampanye legislatif sudah dimulai. Tidak perlu mengajukan pertanyaan yang jawabannya susah karena dinamika keseharian politik juga sudah memusingkan, apalagi bagi para caleg yang sedang berjuang mati-matian mendapatkan suara pemilih.

Makan Malam Kusnadinov

Makan malam selama ini saya pahami sebagai aktivitas yang ada begitu saja sejak dulu. Dalam situasi masyarakat seperti apa pun, di mana pun, makan malam selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Sulit bagi saya membayangkan bahwa pernah ada kelompok masyarakat yang tidak kenal atau asing dengan konsep makan malam. Pandangan saya mengenai makan malam itu berubah drastis gara-gara cerita seorang teman.

makan malam
Saya, Grace, dan anak pertama kami, Lintang, sedang makan malam di Restoran Bandar Djakarta, di Ancol, Jakarta, pada tahun 2009. Waktu itu, Lintang baru berusia 4 tahun.

Di kantor, saya memiliki teman yang bernama Kusnadi. Ia orang Betawi asli, mungkin seperti tokoh Doel yang diperankan Rano Karno dalam sinetron  Si Doel Anak Sekolahan. Kusnadi lahir di Tomang pada tahun 1972 dan tumbuh besar di Pondok Aren, Tangerang (sekarang jadi Tangerang Selatan). Biar kedengaran agak keren, Kus, demikian ia biasa dipanggil, suka menambahkan namanya menjadi Kusnadinov. Mungkin maksudnya supaya ia kelihatan seperti orang Betawi blasteran Rusia atau Ceko.

Pada suatu hari di bulan Desember 2009, entah apa sebabnya, ia bercerita bahwa waktu masih kecil dirinya sangat asing dengan konsep makan malam. ”Nggak ada itu istilah makan malam. Makan terakhir jam empat sore. Setelah itu, ngaji, belajar, dan tidur. Ada makan malam paling kalau sedang ada tahlilan,” kata Kus.

Kehidupan tanpa makan malam mulai berubah pada tahun 1989, bertepatan dengan kehadiran pertama kali stasiun televisi swasta di Indonesia, RCTI. “Nah, waktu itu mulai ada tuh istilah makan malam. Saya masih SMA waktu itu,” kenang Kus.

Meski tidak semua rumah tangga memiliki televisi, toh, menurut Kus, setelah ada RCTI, waktu tidur menjadi lebih malam. Kehidupan orang-orang di lingkungan sekitar Kus pelan-pelan ikut berubah.  Konsep makan malam mulai muncul. Lama-kelamaan Kus dan orang-orang di lingkungan sekitarnya  tidak bisa lepas dari apa yang namanya makan malam, sampai sekarang.

Kus lantas melanjutkan ceritanya. Meski tidak berkaitan lagi dengan urusan makan malam, cerita yang disampaikan Kus masih tetap berhubungan dengan perubahan di lingkungan sekitar tempat dia tinggal.

Kus menceritakan bagaimana Bintaro Plaza dan Kompleks Bintaro  Sektor 4 dahulu adalah hamparan sawah luas. “Ke mana-mana orang masih jalan kaki. Sekarang,  pergi ke tempat yang dekat aja, orang penginnya naik motor,” katanya sambil tertawa.

Saya juga ikut tertawa, membayangkan bagaimana restoran Pizza Hut di Bintaro Plaza dahulu adalah sawah becek. Restoran tempat saya dan keluarga pernah makan malam dengan menyantap pizza itu dahulu gelap gulita saat malam hari. Tidak ada lampu, tidak ada pelayan manis bertubuh ramping berjalan ke sana ke mari membawa daftar menu. Paling-paling hanya ada suara kodok dan jangkrik yang mengantar Kus cilik dan tetangganya terlelap tidur, tanpa makan malam terlebih dahulu.

Sepatu Bekas Eko dan Triyatno

Atlet angkat besi Eko Yuli Irawan dan Triyatno adalah dua orang yang pantas menjadi teladan bagi remaja Indonesia. Bertahun-tahun silam, keduanya masih duduk di sekolah dasar dan masih asyik menikmati suasana pedesaan di Metro, Lampung. Khusus Eko, ada pekerjaan tambahan untuknya, yakni menjadi penggembala kambing.

eko beijing
Eko Yuli Irawan (Beijing, 2008)

Mereka sekarang sudah menjadi atlet internasional. Kedua lifter itu mendapat perunggu dalam Olimpiade Beijing 2008. Ada begitu banyak atlet top dunia yang ingin merebut medali dalam olimpiade, tetapi hanya sedikit dari mereka yang bisa melakukannya. Nah, Eko dan Triyatno termasuk dari segelintit atlet tersebut.

Triyatno bejing
Triyatno (Beijing, 2008)

Bagaimana cerita awal mulanya sehingga Eko dan Triyatno bisa meraih medali olimpiade? Perjalanan mereka menjadi atlet dunia yang ditakuti negara-negara lain sungguh mengesankan. Dari semula ikutan-ikutan latihan angkat besi  di Metro, Lampung, Eko dan Triyatno akhirnya bergabung sepenuhnya dengan sasana sederhana milik Yon Haryono.

“Mereka ngenger, Mas,” kata Yon di bawah sinar matahari terik di Metro pada tahun 2009. Ngenger, sebuah kata dalam bahasa Jawa, yang bisa diartikan ikut, numpang, agar bisa sukses.  Di bawah bimbingan Yon Haryono yang mantan atlet angkat besi nasional, lifter Eko serta Triyatno mendapat latihan dasar-dasar angkat besi. Sehari-hari pada awal tahun 2000-an, mereka tinggal bersama di rumah kontrakan, makan bersama dari nasi bungkus.

Yon haryono
Yon Haryono (Metro, Lampung, 2009)

Sasana sederhana milik Yon dibiayai oleh Kalimantan Selatan. Dengan begitu, Eko dan Triyatno, walau tinggal di Lampung, berstatus atlet Kalsel. Setelah beberapa tahun, Eko dan Triyatno meninggalkan Lampung. Mereka pun terus berkembang dengan ditemani pelatih yang memang khusus menangani atlet elite (high performance athlete).

sepatu
Rak sepatu di tempat latihan milik Yon Haryono (Metro, Lampung, 2009)

Adapun Yon tetap tinggal di Metro. Ia tetap gigih menjalankan  sasana angkat besi. Sasana yang diikuti belasan anak ini sangat sederhana.  Sepatu anak-anak yang ikut berlatih di sasana merupakan sepatu bekas milik Triyatno serta Eko. Potongan koran yang memuat berita serta foto Eko mengangkat barbel dalam Olimpiade Beijing 2008  dipasang di sasana milik Yon. “Ini biar anak-anak semangat,” ujar Yon.

Pada Olimpiade London 2012, Eko kembali mendapatkan perunggu, sedangkan Triyatno mendapatkan perak.

Saya tidak tahu apakah pada saat ini sepatu bekas milik Eko dan Triyatno masih menempati rak di sasana milik Yon.