Hidup manusia sebenarnya sangat sederhana. Siapa pun dia, sehebat apa pun dia, secantik apa pun dia, setua apa pun dia, segala sesuatunya bergantung pada ingatannya.
Seorang pria yang tampan akan menjalani hidup yang menyenangkan dan berbahagia karena ingat siapa istrinya, siapa anaknya. Hidupnya menggembirakan karena dia ingat bahwa kemarin isterinya mencium pipinya saat anak-anak sudah terlelap tidur. Si pria tampan ini merasa dirinya sebagai mahkluk paling berbahagia karena ingat bahwa isteri dan anak-anaknya pada kemarin, seminggu lalu, tiga bulan lalu, selalu mengingatkannya untuk tidak lupa menggosok gigi sebelum tidur. Ingatan telah membuat dirinya selalu sadar dan terjaga bahwa ada orang-orang yang mengasihinya berada di sekelilingnya.
Lalu apa jadinya ketika seorang pria tua pikun sedemikian parah sehingga tak bisa lagi mengingat bahwa perempuan yang membantunya duduk adalah anak tertuanya? Ia tak bisa mengingat dan sadar bahwa dirinya hidup dikelilingi anak-anaknya, darah dagingnya, yang dulu pernah dicemaskannya berhari-hari karena panas di tubuh mereka tak kunjung turun.
Sulit membayangkan apa yang terjadi ketika seseorang kehilangan ingatannya. Namun, itulah yang dialami seorang kerabat.
Usianya mungkin sekitar 70 tahun. Dahulu ia gagah. Badannya tinggi. Selama beberapa tahun terakhir perubahan terjadi pada dirinya. Kulitnya semakin keriput. Badannya kian kurus. Pipinya terus kelihatan kempot. Yang paling utama, perlahan tapi pasti, ingatannya terus berkurang. Dia semakin pikun. Bahkan kedua anaknya pun sudah tak diingatnya lagi.
Tanpa dibuat sok sedih, situasi di rumahnya yang dihuni oleh isteri, kedua anaknya, serta cucu-cucunya sudah barang tentu berada dan tenggelam dalam rasa duka. Pria yang dulu bisa tertawa terbahak-bahak mendengar cerita lelucon kedua anaknya, pria yang dulu merasakan iba saat mendengar kisah kesulitan kedua anaknya, kini seperti orang asing. Kedua anaknya tentu masih mengenalnya sebagai ayah kandung mereka, tetapi sang ayah tak ingat bahwa kedua anaknya sehari-hari menghisap udara yang sama di rumah mereka. Untung saja, sang suami masih ingat siapa isterinya. Shalat pun masih diingatnya.
Ada cerita. Suatu hari seorang sahabat mencari si anak yang sebut saja namanya Rini. Sang sahabat datang ke rumah dan bertemu sang ayah yang tua dan pikun. “Rini ada, Pak?” tanya sang sahabat dengan gembira. Tak disangka, keluar jawaban dari sang ayah,” Rini? Tidak ada orang bernama Rini di sini.”
Si sahabat bengong dan tidak bisa bicara apa-apa lagi. Ia merasa sama sekali seperti orang asing di rumah sahabatnya itu.
Pada lain waktu, bertemulah si sahabat dengan Rini. Diceritakan semua yang dialaminya ketika bertemu sang ayah. Tidak ada permohonan maaf dengan nada sedih keluar dari mulut Rini. Situasi yang kelihatan murung ternyata menjadi sesuatu yang menggelikan. “Ya memang, di rumah, aku dipanggil Lydia, lho. Ha..ha..ha..,” kata Rini tertawa lebar. Sang sahabat pun ikut tertawa. Mereka menikmati tawa itu dan pada saat yang sama, mereka juga sama-sama mengenang masa puluhan tahun silam, ketika sang ayah berdiri gagah menjulang tinggi di depan pintu masuk, tersenyum, menyambut Rini serta sang sahabat yang baru pulang dari bepergian.